Peran Historis Ulama dan Santri dalam Mempertahankan Kedaulatan Bangsa: Latar Belakang Penetapan Hari Santri Nasional

 

Penetapan Hari Santri Nasional: Menghargai Peran Historis Kaum Santri dalam Perjuangan Bangsa

Hari Santri Nasional ditetapkan untuk mengenang dan memperingati peran vital ulama dan santri dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari kolonialisme asing. Penetapan tanggal 22 Oktober didasarkan pada peristiwa Resolusi Jihad yang dicetuskan oleh Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari pada tanggal tersebut. Pilihan tanggal ini secara resmi mengakhiri wacana penetapan pada tanggal 1 Muharram yang sempat dipertimbangkan oleh Presiden Joko Widodo sebelumnya.

Peran Historis Santri dalam Kedaulatan Negara

Sejarah mencatat bahwa kaum santri, bersama dengan komponen pejuang bangsa lainnya, memainkan peran fundamental dalam upaya merebut kembali kedaulatan negara dari cengkeraman kolonialisme. Presiden Joko Widodo sendiri mengakui signifikansi peran historis ini. Tokoh-tokoh santri dan ulama yang terlibat aktif dalam perjuangan dan pemeliharaan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mencakup, antara lain: KH. Hasyim Asy’ari (pendiri organisasi Islam Nahdlatul Ulama/NU), KH. Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), A. Hassan (Persatuan Islam/Persis), Abdul Rahman (Matlaul Anwar), dan Ahmad Soorhati (Al Irsyad). Selain itu, banyak anggota Pembela Tanah Air (PETA) diisi oleh perwira dan prajurit yang berasal dari kalangan santri.

Makna dan Signifikansi 22 Oktober

Tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional memiliki arti dan makna mendalam, tidak hanya bagi komunitas santri tetapi juga bagi seluruh elemen bangsa.

Peran mereka dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia telah terukir jelas dalam narasi sejarah. Mereka terlibat aktif dalam proses perebutan kemerdekaan, pembangunan bangsa, dan pertahanan NKRI. Sejak ditetapkan pada tahun 2015, Hari Santri Nasional berfungsi sebagai momentum refleksi bagi komunitas santri dan bangsa untuk meninjau kembali sejarah perjuangan pesantren dalam menghadapi penjajah.

Refleksi dan peninjauan kembali sejarah ini sangatlah krusial. Pemahaman historis tersebut membekali para santri di era modern untuk senantiasa melakukan introspeksi dan peningkatan kualitas diri demi kemajuan bangsa Indonesia di masa mendatang.

Dalam sebuah upacara peringatan Hari Santri yang diselenggarakan, Pembina Upacara di Madrasah As-Salafiyah menyerukan kepada para santri untuk menjadikan Hari Santri Nasional sebagai titik tolak untuk perbaikan diri. Disadari atau tidak, santri saat ini dihadapkan pada tantangan yang lebih kompleks seiring dengan perubahan global yang masif.

“Hendaknya Hari Santri Nasional menjadi momentum untuk berbenah, meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) santri, guna menjawab dan menghadapi tantangan serta dinamika perubahan global,” ujar Pembina Upacara tersebut.

Dengan demikian, Hari Santri Nasional mengusung arti, makna, dan filosofi yang melampaui sekadar perayaan euforia atau seremonial. Ia menjadi momentum refleksi mendalam yang selanjutnya dijadikan landasan untuk peningkatan berkelanjutan kualitas santri demi masa depan bangsa. Hari Santri mengingatkan kembali akan peran strategis santri dari masa ke masa, mulai dari era kolonial hingga kini.

Latar Belakang dan Penetapan

Hari Santri Nasional ditetapkan secara resmi pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, dimulai pada 22 Oktober 2015, dan diperingati setiap tahunnya. Alasan dan latar belakang penetapan tanggal 22 Oktober adalah sebagai bentuk pengingat, penghormatan, dan apresiasi terhadap kontribusi historis para santri dalam perjuangan kemerdekaan dan upaya menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Peran besar komunitas pondok pesantren dalam sejarah bangsa inilah yang melandasi pemilihan tanggal 22 Oktober. Tanggal 22 Oktober dipilih karena pada hari tersebutlah Resolusi Jihad dicetuskan dan digelorakan oleh KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama.


0 Komentar